Selasa, 24 Juli 2012

PEMIKIRAN POLITIK TIMUR DAN PERKEMBANGANNYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Politik telah ada sejak zaman dahulu. Yang memperkenalkan politik pertama kali adalah Aristoteles. Ia menjelaskan bahwa politik merupakan cara-cara yang dilakukan seseorang maupun kelompok untuk mencapai hakikat hidup yang tinggi yang diwujudkan melalui interaksi sosial. Menurutnya manusia akan hidup bahagia jika mengembangkan bakat, bergaul dengan akrab dan hidup dengan menggunakan moralitas yang tinggi. Tidak jauh bebeda dengan apa yang di maksud dengan Pemikiran Politik Timur yaitunya gagasan atau ide-ide mengenai politik ( kekuasaan , aktivitas, struktur, system dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara ) yang berkembang dalam masyarakat timur berdasarkan pada nilai-nilai moralitas dan keyakinan-keyakinan yang ada pada masyarakat timur.
Saat ini pemikiran  politik timur masih tetap berkembang dalam masyarakat yang umunya hidup di negara-negara timur. Untuk mencapai perkembangan seperti itu, tentu saja pemikiran politik timur mengalami suatu proses panjang yang memakan waktu lama sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.
Oleh sebab itu pemikiran politik timur dan perkembangannya sangat menarik unutk dibahas. Bagaimana asal mula terbentuknya pola pemikiran orang-orang timur yang lebih mengandalkan nilai-nilai masyarakat serta  keyakinan-keyakinan agama seperti Hinduisme, Budhisme, Confuciusme, Sintoisme dan Islam yang sangat berbeda dengan Pemikiran politik barat yang pemikirannya berdasarkan logika dan rasionalitas.
2. Metode Penulisan
       Metode yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode penulisan referensi dan pembahasan. Yang mana penulis menggunakan banyak literature dalam penulisan makalah ini, seperti buku-buku, internet, dan sumber-sumber lain. Dalam penulisan makalah ini penulis juga melakukan pembahasan mengenai apa-apa saja yang perlu di ambil dan di jadikan referensi.
       Dalam pembahasan penulis menyaring semua informasi yang ada dan merangkumnya menjadi sebuah makalah yang utuh dan lengkap. Metode penulisan yang penulis gunakan ini memiliki kelebihan dari metode-metode yang lain karena selain sederhana, metode ini juga paling gampang untuk di mengerti dan diolah karena sumbernya berasal dari buku-buku.
3.      Tujuan dan Manfaat
3.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ’’ Pemikiran Politik Timur ’’ yang diberikan pada penulis serta untuk memberikan gambaran umum mengenai asal mula pemikiran politik timur dan perkembangannya hingga saat ini.

3.2 Manfaat
Sedangkan manfaat dari makalah ini adalah diharapkan dapat :
1.      Menambah wawasan mahasiswa mengenai pemikiran politik timur dan perkembangannya,
2.      Menaruh minat dan mendorong pembaca terutama mahasiswa untuk meningkatkan pemahaman terhadap filosofi-filosofi atau ajaran ajaran moral yang terdapat dalam pemikiran politik timur.














BAB II
PEMBAHASAN
1.      PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Pemikiran Politik
Pemikiran politik merupakan bagian dari ilmu politik yang mengkhususkan diri dalam penyelidikan tentang pemikiran – pemikiran  yang terdapat dalam bidang politik, sejak dari dahulu kala di masa Yunani Kuno sampai ke masa sekarang. Dalam pengertian lain juga disebutkan bahwa, pemikiran politik adalah suatu bagian ilmu pengetahuan politik dimana nilai, moral, norma, dan etika selalu menjadi pokok pembahasan yang tidak pernah absen. Kareana itu, mengesampingkan pemikiran politik berarti mengesampingkan suatu unsur yang sangat agung dalam studi politik.
Pemikiran politik sangat erat hubungannya dengan sejarah, filsafat politik, dan juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan etika, moralitas, dan idealisme politik pada umumnya. Pemikiran politik sering disebut dengan political theory.  
Pemikiran politik selalu berkembang dan berubah sesuai dengan waktu dan tempat dimana setiap tempat juga memiliki perbedaan dan cirri tersendiri. Hal ini karena jiwa yang dimiliki seorang pemimpin dipengaruhi oleh masa kecil, budaya, adat-istiadat, pendidikan, agama, lingkungan, nilai, suku bangsa dll. Untuk itu mempelajari pemikiran politik sangat menarik, karena adanya banyak pemikiran yang berbeda tapi juga menakjubkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemikiran politik merupakan pemikiran tentang bagaimana permasalahan kehidupan bersama masyarakat durus, diatur, dan diselesaikan.

1.2 Tokoh Sentral Dalam Pemikiran Politik Timur
Ada banyak sekali tokoh-tokoh yang memliki pemikiran yang menggugah dunia di Timur. Mereka muncul dari beberapa Negara yang mempunyai kebudayaan dan agama yang berbeda seperti Islam, Cina dan India. Tapi budaya dan agama itu juga yang menjadi persamaan ciri dari tokoh-tokoh ini. Karena dasar-dasar pemikiran politik mereka masih sangat dipengaruhi ajaran agama, dan warisan budaya mereka masing. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat dan bandingkan perbedaan dan persamaan tersebut dalam penjelasan singkat berikut:
1.       Al- Farabi
Dalam pemikiran politik al-farabi terlihat jelas dilandasi oleh filsafat kenabian, dalam hal ini al-farabi dapat tergolong filosof politik yang idealistic. Al-farabi memang memfokuskan perhatiannya pada pemimpin atau kepala Negara serta kaitannya dengan system pemerintahan.
2.       Al – Mawardi
Bila al-farabi bersifat idealistic dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang kualitas pemimpin, maka Al-Mawarbi cenderung lebih realistic dan berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan. Al-Mawardi ternyata lebih dulu memperkenalkan kontrak social pada awal abad XI M, dan baru lima abad kemudian bermunculan teori kontrak social di Barat.
3.      Ibnu khaldun
Ibnu khaldun mengemukan bahwa system politik itu sangat diperlukan untuk terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut amat relevan dengan kondisi manusia sebagai makhluk social-politik. Pemimpin tidak harus memiliki jarak jauh dengan rakyat. Konsep kepemimpinan primusinterpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu khaldun.
4.       Confucius
Dari berbagai pemikran Confucius atau Kong Hu Cu, terutama yang berkaitan dengan politik lebih menekankan bagaimana menjadi penguasa, pemerintah dan pejabat yang baik yaitu yang mengutamakan kepentingan rakyat. Rakayta sangatlah penting mengingat banyak rakyat yang menjadi korban ambisi dan kepentingan penguasa. Confucius juga meyakini adanya tuhan yang disebut Tien. Dan dekat dengan alam sebagaimana pemikir Cina lainnya. Denganbegitu dalam setiap pemikirannya mengenai pemerintahan adalah tempat tinggal yang nyaman dan aman bagi segenap rakyat tanpa terkecuali.
5.       Lao Tzu
Dalam teori politik Lao Tzu, penganut Taonisme sepakat dengan kaum Confucianisme, bahwa Negara idaman ialah Negara yang dikepalai manusia bijaksana. Hanya manusia bijaksanalah yang dapat dan seharusnya memerintah. Tetapi perbedaan diantar kedua mazhab tersebut adalah bahwa menurut kaum Conficianisme , bila seorang manusia bijaksana menjadi penguasa ia seharusnya berbuat banyak bagi rakyatnya, sedangkan menurut kaum Taonisme, kewajiban penguasa bijaksana bukan berbuat banyak tapi meniadakan perbuatan apapun. Menurut Lao Tzu, kesulitan-kesulitan yang terjadi di dunia bukan disebabkan banyak hal yang belum di kerjakan, melainkan karena terlalau banyak hal yang telah di kerjakan.
Salah satu ajaran Lao Tzu dalam kitabnya adalaah “ jangan mengagung-agungkan orang-orang terhormat, maka rakyat tidak akan lagi bertengkar. Jangan memandang tinggi benda-benda berharga yang sulit diperoleh, maka tidak aka nada lagi pencuri. Jika rakyat tidak pernah melihat benda-benda yang membangkitkan keinginan, maka pemikiran mereka tidak akan rancu. Itulah sebabnya manusia bijaksana memerintah rakyat dengan cara mengosongkan pikiran mereka, mengisi perut mereka, melemahkan kehendak mereka, serta mengencangkan syaraf mereka, dan senantiasa membuat rakayat tanpa pengetahuan serta tanpa keinginan.” (bab 3 kitab Tao).
6.       Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchad Gandhi, seorang pemikir politik di India dan pejuang yang memerdekan India. Membacaa karya India dan buku pengetahuan, hukum, pemerintah, dan tentang Tuhan merupakan favoritnya. Ahimsa (tidak melukai) ajaran Gandhi yang terkenal, ajaran ahimsa adalah dasar dan pedoman untuk bertindak. Tujuannya untuk menegakkan kebenaran. Cirri ahimsa adalah penyesuaian dan pembaharuan yang tiada henti. Ada 3 bentuk tindakan bersifat ahimsa yaitu, non co- operation, ketidakpatuhan sipil, dan puasa. Yang paling utama adalah non co-operation dimaksudkan menolka untuk mengambil bagian dalam system yang tidak adil. Tuhuannya adalah untuk perubahan struktur masyarakat yang tidak adil, yang membuat orang menderita.

2.      ASAS FILOSOFIS PEMIKIRAN POLITIK CINA
2.1.1        Pemikiran Cofucius tentang kebahagiaan manusia
Ajaran utama Confucius menekankan cara menjalani kehidupan yang harmonis dengan mengutamakan moralitas atau kebajikan. Seseorang dilahirkan untuk menjalani hubungan tertentu sehingga setiap orang mempunyai kewajiban tertentu. Sebagai contoh, kewajiban terhadap negara, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban untuk menolong teman, dan suatu kewajiban umum terhadap kehidupan manusia.
Sifat-sifat khas ajaran konfusius antara lain adalah:
1.      Berkorban demi kepentingan orang lain
2.      Sopan dan taat pada hukum
3.      Hidup sederhana dan ramah
4.      Damai dan membenci permusuhan dan percekcokan

Pemikiran Confucius, banyak membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan. Pemikirannya sering dianggap doktrin agama oleh para pengikutnya. Kebahagiaan dalam ajaran ini adalah meniadakan kebutuhan material dan rasional. Berbeda dengan Aristoteles yang berpendapat, kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang dapat dicapai apabila menjalankan fungsi khasnya sebagai makhluk rasional. Manusia akan merasa bahagia apabila ia menjalankan hidup dengan segenap keutamaan rasio.Menurutnya hidup yang sempurna lebih bersifat rasional dan material. Bisa dilihat dari semua hal yang baik seperti kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan, dan kebajikan. Jadi kebahagiaan dalam perspektifnya adalah sesuatu hal yang final dan mencukupi sendiri secara kasat mata. Upaya meraih kebahagiaan merupakan proses terus-terusan mengumpulkan kebaikan, ability, kepandaiaan, kepiawaian, kehormatan, kecantikan dan persahabatan.
Karena kebahagiaan merupakan kebaikan dan manusia biasanya merupakan makhluk sosial. Sudah jelas bahwa setiap orang bekerja untuk kebahagiaan bersama, maka sudah pasti didapati suatu keadaan yang lebih memungkinkan untuk menciptakan kebahagiaan dibanding keadan-keadaan yang lain.
2.2  Konsep Mo Tzu terhadap Perdamaian dan Ketertiban
Ada seorang dalam generasi yang hidup sesudah meninggalnya Confusius. Kita mengenalnya dengan nama Mo Tzu. Ia lahir pada tahun 408 SM. (satu tahun sebelum Confusius meninggal). Mo Tzu jelas seseorang yang berasal dari keturunan yang relative rendah, sepertin halnya Confusius. Awalnya ia belajar pada orang-orang yang menyiarkan ajaran-ajaran Confusius. Tetapi ia merasa bahwa Confuciusme yang diterapkan semasa hidupnya tidak menyentuh akar kesukaran-kesukaran yang menyebabkan rakyathidup sengsara.
Mo Tzu mengatakan: Dewasa ini segenap penguasa menginginkan agar negeri mereka makmur, agar penduduk mereka banyak, dan pemerintahan mereka menghasilkan ketertiban. Tetapi dalam kenyataan yang diperoleh bukan kemakmuran, melainkan kemelaratan, bukan penduduk yang banyak jumlahnya, melainkan penduduk yang sedikit jumlahnya, bukan ketertiban, melainkan kekacauan, dengan demikian mereka tidak memperoleh apa yang mereka inginkan, dan memperoleh apa yang tidak mereka sukai. Ini disebabkan penguasa tidak mampu untuk memberikan tempat terhormat kepada orang-orang yang bajik daan untuk menggunakan orang-orang yang cakap dalam menyelenggarakanpemerintahan. Sudah tentu harus banyak lagi yang harus dikerjakan untuk memperoleh orang-orang yang bajik dan paling baik, yang senantiasa berprilaku bajik, mahir dalam penalaran, dan berpengalaman dalam ilmu pengetahuan mengenai Jalan.
Sudah Jelas Mo Tzu sependapat dengan Confusius yang menghendaki agar para penguasa turun-temurun meyerahkan penyelynggraan pemerintahan mereka kepada orang-orang yang bajik dan cakap.
Keadaan masa dahulu bukan satu-satunya tolak ukur yang digunakan oleh Mo Tzu. Meskipun demikian memang sudah pasti benar bahwa Mo tzu maupun para penganut Confusiusme pada masa hidupnya kurang menaruh perhatian untuk mengajar orang berikir sendiri dibandingkan dilakukan oleh confusius.
Sejumlah perbedaan paham dengan penganut Confuciunisme yang di garis bawahi ole Mo Tzu jelas tidak didasarkan atas erbedaan filsafat. Sejumlah kecaman Mo tzu yang paling tajam ditujukan terhadap kebiasaan pemakaman yang mengeluarkan banyak biaya serta keadaan berkabung yang begitu lama.
Dalam hal yang menyesalkan adanya perang, Mo Tzu sepaham dengan para penganut Confuciunisme. Mo Tzu menangani maslah perang dengan dua cara. Pertama-tama, berusaha untuk menghimbau para penguasa Negara bahwa perang tidak menghasilkan keuntungan. Mo Tzu menarik kesimpulan baha dengan mengatakan perang bersifat menguntungkan berarti sama dengan melakukan penalaran pada peristiwa “seprang dokter yang merawat lebih dari sepuluh ribu pasien, dan hanya menyembuhkan empat orang. Sulit untuk data mengatakan seorang dokter yang baik.
Seperti halnya Confusius, Mo Tzu sangat perihatin mengenai penderitaan yang diakibatkan oleh kemiskinan, kekacauan, dan perang. Tetapi tidak seperti Confusius, Mo tzu tidak sangat jauh penglihatannya kebalik tujuan langsung untuk  menghapus keadaan-keadaan tersebut. Mo Tzu mendukung serta menganjurkan suatu rencana yang dimaksudkan untuk menyembuhkan keburukan-keburukan tertentu, dan untuk dapat melaksanakannya ia bersedia mengorbankan apa saja, termasuk juga mengorbankan kebahagiaan manusia.
2.3 Mencius Dan Kodrat Manusia
Mencius merupakan filosof China paling penting setelah Konfucius. Ajaran-ajarannya sangat dijunjung tinggi selama berabad-abad. Dia sering dianggap sebagai mahaguru kedua yang kebijakannya hanya dikalahkan oleh Konfucius, panutan Mencius selama dua ratus tahun.
Mencius memiliki beberapa murid di masa hidupnya, tetapi pengarunya terhadap Cina berasal terutama dari Book of Mencius, yang berisi paparan ajaran-ajaran prinsip Mencius. Nada yang diungkapakan dalam Book of Mencius adalah idealis dan optimis, merefleksikan keyakinan kuat Mencius bahwa manusia itu pada hakikatnya baik. [1]
Dalam berbagai sudut pandang, ide-ide politik Mencius sangat menyerupai Konfucius, terutama Mencius sangat yajin bahwa seorang Raja hatus memerintah dengan teladan-teladan moral bukan dengan kekuatan.
Mencius menekankan bahwa komponen utama dari setiap negara adalah rakyat, bukan penguasanya. Adalah tugas pemimpin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, para pemimpin harus melayani rakyat dengan ajaran-ajaran moral dan menciptakan kehidupan yang layak bagi rakyatnya.Dia menganjurkan pemerintah membuat kebijakan tentang: perdagangan bebas, pajak ringan, konservasi sumber daya alam, penyebaran kesejahteraan yang merata dari yang telah di tetapkan. Serta ketentuan pemerintah untuk para lansiadan orang miskin.
Mencius yakin kekuasaan seorang Raja berasal dari Surga: tetapi seorang raja yang tidak menghiraukan kesejahteraan rakyatnya akan kehilangan mandate dari Surga dan akan segera dilengserkan.
       Mencius berpendapat manusia pada kodratnya adalah baik, namun dia juga mengakui adanya unsur-unsur lain yang apabila tidak terkendali secara tepat akan menimbulkan keburukan.Unsur- unsur ini mewakili segi “hewani” kehidupan manusia. Untuk menopang teorinya Mencius meng emukakan beberapa pendapat, yakni: “Setiaporang mempunyai hati yang tidak tahan (melihat penderitaan) orang lain.  Setiap manusia memiliki empat benih pemula, yaitu:
1.Rasa belas kasih merupakan benih pemula perikemanusiaan
2.Rasa malu serta enggan merupakan benih pemula perikeadilan
3.Rasa rendah hati serta kebersamaan merupakan benih pemula kepantasan
4.Keinsyafan tentang betul dan salah merupakan benih pemula kearifan

2.4   Skeptisme Mistik Teoisme       
       Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya. ”Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.

       Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami. Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, orang akan sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta.
Pada tahap ini, orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam kesatuan dengan Tao. Ini adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan manusia. Sebagai ajaran filsafah, Taoisme dimulai denga skeptisme. Skeptisme ini timbul dari kekecewaan masyarakat dan situasi politik di China pada abad ke 5M. Pada masa itu banyak sekali pemberontakan dan perperangan. Korupsi da penyelewengan meraja lela. Raja-raja, bangsawan dan panglima-panglima perang hidup penuh kemegahan dan kemewahaan di atas kesengsaraan rakyat. Menurut para penganut Taoisme, peradaban hedonistis dan materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk memulihkan peradaban yang sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan menyatu dengan alam.
3.  PENGARUH FILSAFAT POLITIK CINA  TERHADAP NEGARA
3.1 Otoriterisme Hsun Tzu
Dari semua ajaran-ajaran Hsun Tzu yang paling terkenal adalah bahwa ia mengatakan bahwa kodrat manusia itu adalah buruk, dan ini sangat berlawanan dengan ajaran Mencius yang mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Kemungkinan yang mempengaruhi Hsun Tzu mengenai pandangan itu adalah kenyataan bahwa ia telah banyak menyimak berbagai pola kebudayaan yang banyak jumlahnya barangkali lebih dari yang telah disimak oleh Mencius.Chao merupakan negara tumpah darah Hsun Tzu dan itu banyak dipengaruhi oleh para pengembara yang berkelakuan biadab dan Hsun Tzu juga pernah tinggal di daerah Ch’I yang berbudaya namun juga pernah tinggal di daerah Ch’u yang memiliki budaya khusus. Hsun Tzu juga berpendapat jika kodrat asli manusia yaitu berbuat seperti yang di inginkan maka akan menimbulkan kesukaan bertengkar, ketamakan serta kesusahan, dan akhirnya manusia mengalami kekerasan. Dan karena hal tersebut hakikat manusia tersebut diubah oleh para guru dan hukum, dan dibimbing oleh li serta keadilan. Semua orang pada saat dilahirkan tidak hanya buruk namun juga sama. Menurutnya semua orang memulai hidup mereka dalam tingkatan yang sama benar. Dan orang yang paling awam di dunia suatu saat juga dapat menjadi orang paling bijaksana dengan mengamalkan kebaikan.
Hsun Tzu sagat menggarisbawahi belajar, ia berpendapat bahwa belajar merupakan pintu terbuka. Dan jika ini dilakukan dengan usaha dan upaya maka orang dari kalangan rendah dapat menjadi bangsawan, orang yang tidak tahu-menahu dapat menjadi bijaksana, dan orang miskin dapat menjadi kaya. Hsunn Tzu berpendapat bahwa pemerintahan adalah untuk rakyat bukan untuk penguasa. Tindakan yang dapat memelaratkan rakyat serta memperlakukan para sarjana secara buruk berarti memancing malapetaka. Tidak seorang pun berhasil dalam peperangan jika rakyatnya tidak setia kepadanya.
3.2  Otoriterisme Penganut legalisme
Filsafat ini dikenal sebagai Legalisme, dalam arti yang sangat luas,  merupakan filsafat kontrarevolusi, yang berupaya mempertahankan kekuasaan penguasa terhadap tuntutan yang semakin keras yang menyatakan bahwa adanya pemerintah itu untuk rakyat, bukan untuk penguasa dan pemerintahan mana pun yang tidak dapat memuaskan rakyat harus dikutuk.
Para penganut menegaskan bahwa mereka adalah pembaharu-pembaharu yang berani, yang memaklumkan suatu ajaran baru bagi jaman baru. Dan mereka berpendapat bahwa ajaran Confucianisme dan Moisme adalah ajaran yang tradisionalisme yang ketinggalan jaman, memiliki teori-teori yang sudah lapuk dan tidak bersedia untuk mengambil keuntungan dari modernisasi.
Penganut Legalisme menganjurkan pemerintahan terpusat yang kuat, yang harus menjalankan kekuasaan mutlak disertai ancaman hukuman yang berat. Hal ini sangat berbeda dengan ajaran yang dianut oleh para Confucianisme dan mereka sangat tidak suka dengan adanya kebijakan ini karena mereka akan kehilangan kekuasaan mereka. Oleh karena itu juga dapat disimpulkan bahwa para Confucianisme merupakan penganut Feodalisme. Para penganut Legalisme tidak salah jika mengatakan bahwa mereka adalah pembaharu, karena metode-metode mereka adalah baru. Namun tidak dapat dikatakan sepenuhnya bahwa tujuan para penganut Legalisme sepenuhnya baru. Sebab mereka mengupayakan bagi penguasa seluruh negeri kekuasaan mutlak terhadap kaulanya yang hampir sama dengan yang dijalankan oleh masing-masing penguasa feodal pada masa silam yang jaya, sebelum rakyat mulai dirusak jiwanya oleh para penganut Confucianisme dengan membiarkan mereka membicarakan hal-hal tersebut.
Para penganut Legalisme memang menggarisbawahi hukum, tetapi hanya sebagai suatu sarana, dan bukan satu-satunya sarana untuk mencapai tujuan mereka. Dan para penganut Legalisme tidak bersifat Legalistik, dalam arti terutama mementingakn bunyi hukum serta penafsiranny. Fung Yu-Lan secara tepat sepenuhnya menyatakan bahwa adalah salah untuk mengaitkan alam pikiran mazhab legalisme dengan ilmu hukum. Pandangan penganut Legalisme mengenai kodrat manusia berbeda dengan paandnagan penganut Confucianisme. Seperti kebanyakan penganut Legalisme Hsun Tzu adalah seorang pejabat administratif lapangan, dan mungkin sebagian masa kerjanya dihabiskan sebagai seorang petugas kepolisian jenis unggul. Hsun Tzu bersifat skeptik namun sebagai penganut Confucianisme iai menemukan sebuah rumus untuk memecahkan kesulitan tersebut, dengan mengorbankan logika.
Sebagai lawan confucianisme, para penganut Legalisme mempunyai landasan yang kokoh dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, yaitu shu, bagi perilaku pemerintah. Confucius mengatakan bahwa ilmu tidak ada harganya, kecuali jika pemiliknya dapt menggunakannya sebaik-baiknya dengan perilaku yang benar untuk memerintah. Namun setelah negara-negara mempunyai wilayah tertentu yang semakin luas serta terpusat dam kegiatan ekonomi mwnjadi saemakin berliku-liku, maka penyelenggaraan pemerintahan semakin lama memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang khusus. Para penganut Legalisme, menginsyafi hal ini, dan itulah yang mungkin menjadi alasan pokoknya mengapa pemerintah Cina terus dipengaruhi oleh Legalisme, jauh sesudah Legalisme sebagai suatu filsafat yang berkembang dalam kenyataannnya tidak ada lagi.

3.3 Pengaruh Eklektisme pada Masa Dinasti Han
Sifat kekolotan Confucianisme, dan kedudukannya di Cina selama dua ribu tahun terakhir dipengaruhi secara mendalam oleh apa yang dinamakan kejayaannya pada masa dinasti Han. Banyak pendapat mengatakan bahwa Kaisar Wu menerima Confucianisme sebagai filsafat pemerintahannya, karena Confucianisme mengutamaka kepatuhan para kaula kepada penguasa, dan memperbesar kekuasaan serta martabat kaisar serta kelas yang berkuasa. Pendapat ini tidak bisa dipastikan betul atau salah. Namun kita harus mempertimbangkan keadaan dari segi aspek ekonomi dan politik, karena hal ini merupakan bagian penting dari bahan keterangannya. Perhatian yang khusus perlu ditaruh pada faktor manusianya yaitu para penguasanya, para sarjananya, dan  rakyat jelatanya.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi mengenai Kaisar Wu bahwasanya ia sudah menjadi penganut Confucianisme ketika ia pertama kalinya mewarisi tayhat sebagai seorang anak laki-laki berusia limabelas tahun, namun tahapan ini dengan cepat dilewatinya; selama masa hidupnya sebagai orang dewasa, dalam kenyataannya ia penganut Legalisme, yang dapat secara seksama berpura-pura sebagai penganut Confucianisme demi kebajikan. Para penasihat yang sebenarnya menentukan perencanaan kebajikan-kebajikan pemerintahan jelas-jelas bersikap Legalistik dan menolak Confucianisme.
Ketika pada masa kaisar Wu selama beberapa waktu sudah menjadi kebiasaan bagi para sarjana yang memperoleh rekomendasi dari daerah-daerah asal mereka, datang ke istana guna diuji oleh maharaja. Seorang penganut Confucianisme termasyhur yaitu Tung Chung-shu menempuh ujian semacam itu pada awal pemerintahan Wu. Peserta lain yang mengikuti ujian yaitu Kung-Sun Hung. Ia pernah menjadi seorang sipir dan ini yang menyebabkannya tertarik pada Legalisme. Karena dipecat, akhirnya ia menjadi penggembala babi dan semasa hidupnya kemudia mempelajari salah sati kitab klasik Confucianisme. Jawaban soal yang diberikannya, meskipun pada permukaan bersifat Confucianisme seperti diisyaratkan, namun dalam kenyataannya jelas-jelas bersifat Legalisme. Ia mengatakan bahwa kaisar harus dengan bersemangat memaklumkan UU dan menggunakan Shu, metode-metode. Selanjutnya kaisar harus memegang monopoli atas kendali-kendali yang menguasai hidup dan mati dan mengendalikan pemerintahan secara pribadi. Para sarjana yang menilai sangat marah terhapa pekerjaan itu dna memberikan nilai terendah untuknya. Ketika hasil-hasil itu sampai kepada kaisar, ia menaikkannya dan memberi niali tertinggi dan menjadikannya perdana mentri hingga ia meninggal. Kaisar memberi ganjaran sangat banyak terhadap orang-rang yang di atas kertas menganut Confucianisme yang mengelu-elukannya dan menghukum mereka yang mengecamnya.
Sikap eklektik yang dipunyai para penganut Confucianisme tidak sedikit. Dalam kenyataannya, sukar untuk menemukan apa yang dapat dinamakan penganut Confucianisme yang murni pada masa dinasti Han. Salah satu kitab Confucianisme terpenting yaotu Catatan-Catatan Mengenai Ketentuan Upacara , dihimpun sejak abad 1 SM dari dokumen yang memiliki usia berbeda. Meskipun begitu kitab ini banyak mengandung teori-teori yang samar-samar bercorak Legalisme serta Taoisme, dan memasukkan juga teori-teori tentang yin dan yang dan kelima macam daya.
3.4  Buddhisme dan Neo-Confucianisme
Buddhisme lahir di India dan di latar belakangi dari penghayatan agama Hindu. Namun Buddhisme secara dialektis betul-betul lain dari Hinduisme. Dalam Buddhisme , dewa-dewi Hinduisme tidal berperan sama sekali. Dan Buddhisme menolak sistem kasta. Salah satu perbedaan khas antara Buddhisme dan Hinduisme adalah bahwa Buddhisme berdasarkan sebuah ajaran bulat dan lengkap, sedangkan kitab-kitab suci Hinduisme berupa berbagai cerita, ajaran, dan mitos.[2]
Ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha ( Sang Tercerahkan) karena memperoleh pencerahan. Ajaran Sang Buddha kemudian menyempal dalam berbagai aliran seperti Buddhisme Mahayana, Teravada, dan Tantri. Penghayatan ketuhanan dalam Buddhisme sangat menarik. Sang Buddha sendiri justru tidak bicara tentang Tuhan dan dalam ajarannya dewa-dewi tidak memainkan peranan.
Sedangkan Neo-Konfusianisme merupakan filsafat sosial dan etika menggunakan ide-ide metafisik, beberapa dipinjam dari Taoisme, sebagai kerangka kerjanya. Filosofi dapat dicirikan sebagai humanistik dan rasionalistik, dengan keyakinan bahwa alam semesta bisa dipahami melalui akal manusia, dan bahwa terserah kepada umat manusia untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara alam semesta dan individu.
Neo-Konfusianisme merupakan upaya untuk menciptakan bentuk yang lebih rasionalis dan sekuler dari Konfusianisme dengan menolak unsur-unsur takhayul dan mistis dari Taoisme dan Buddhisme yang dipengaruhi Konfusianisme selama dan setelah Dinasti Han. Meskipun Neo-Konfusius secara kritis dan Taoisme Buddhisme, dua memang memiliki pengaruh pada filosofi, dan Neo-Konfusius meminjam istilah dan konsep dari keduanya. Namun, tidak seperti Buddha dan Taois, yang melihat metafisika sebagai katalis untuk pengembangan spiritual, pencerahan agama, dan keabadian, Neo-Konfusius digunakan metafisika sebagai panduan untuk mengembangkan rasionalis etika filsafat.
4.      ASAS FILOSOFIS SHINTOISME
4.1 Religi Jepang masa Tokugawa
Pada era ini terjadi pembaharuan dan formalisasi agama. Tokugawa Ieyasu mengeluarkan dekrit yang menyatakan Budha sebagai agama nasional namun banyak yang tidak setuju akan hal ini, terutama golongan radikal yang mendukung Kaisar. Meskipun demikian tidak banyak dari meraka yang menentang secara terang-terangan karena khawatir akan posisi mereka.
Aliran Buddha yang dijadikan agama nasional adalah Zen-Buddha. Inti dari Zen-Buddha ini adalah meditasi mencari pencerahan dalam diri sendiri tanpa pengaruh hal-hal luar. Tidak terlalu menekankan akan Tuhan, namun lebih kepada alam sebagai guru. Pembaharuan yang tampak secara jelas terdapat pada falsafah Jepang. Sistem yang digunakan bakufu menganut aliran Neo-Confusianisme. Meskipun tidak diakui sebagai agama tetapi tetap saja banyak orang yang memilih aliran ini sebagai jalan hidup mereka. Prinsip Bushido juga merupakan adaptasi dari falsafah dasar dalam Confusianisme. Selain pada Neo-Confusianisme, ajaran Shinto juga mengalami pembaharuan dengan munculnya istilah Sonno Joi. Sonno joi adalah ungkapan berisikan “Hormati Kaisar, usir orang Barbar (maksudnya orang Eropa)” Pada titik ini Kaisar diharapkan dapat membimbing Jepang menuju kejayaan sebagai perwujudan Amaterasu di dunia. Hal ini terjadi saat kembalinya kekuasaan pada kaisar ketika Tokugawa Yoshinobu menyerahkan kekuasaan Shogun kepada Kaisar.
Sedangkan yang terjadi pada agama Kristen adalah “dianggap tidak ada”. Seluruh pengikutnya diburu oleh pegawai ke-Shogun-an. Lalu muncullah Kakure Kirishitan atau Kristen Tersembunyi. Kakure Kirishitan ini sedikit mengubah bentuk patung Bunda Maria agar tidak dicurigai oleh Bakufu. Bentuknya lebih menyerupai Boddhisatva sehingga sering dikira sebagai salah satu sekte agama Budha.  
Pada pertengahan tahun 1630, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Amakusa Shiro, pemimpin Kakure Kirishitan di wilayah Shimabara, Nagasaki. Perang ini kemudian disebut Pemberontakan Shimabara. Hasil dari perang ini adalah kekalahan di pihak Kakure Kirishitan. Hampir seluruh penganut Kakure Kirishitan tewas ditangan pasukan ke-Shogun-an.
5.      PENGARUH FILSAFAT SHINTOISME TERHADAP NEGARA
5.1 Shintoisme dan Negara
Shintoisme merupakan suatu paham keagamaan yang dianut oleh masyarakat Jepang sampai pada saat ini. Dapat dikatakan juga bahwa Shintoisme merupakan tradisi keagamaan yang paling kuno dari semua tradisi keagamaan di Jepang lainnya yang bertumbuh dari sejarah kepercayaan Jepang.
 Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
Shintoisme tidak hanya ditaati oleh masyarakatnya saja. Pemerintah pun diwajibkan untuk mentaati Shintoisme. Sama halnya dengan masyarakat Jepang yang mewarisi paham/ajaran ini, pemerintah pun juga mendapatkan posisi yang sama. Bahkan, tugas pemerintah Jepang lebih besar tanggung jawabnya di bandingkan masyarakat Jepang. Pemerintah Jepang harus menjadi pelaksana utama dalam Shintoisme.
Tidak seperti negara-negara lainnya yang dikepalai oleh seorang presiden, pemerintahan Jepang dikepalai oleh seorang Kaisar. Kaisar inilah yang menjadi badan resmi bagi Shintoisme. Badan resmi yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan dan menjelaskan kehendak dewa-dewi kepada masyarakat Jepang. Dari hal ini terlihat bahwa Kaisar mempunyai peran yang sangat penting, karena Kaisar adalah utusan para dewa. Melalui keadaan ini, dapat dilihat Jepang merupakan pemerintah yang bersifat Theokratis dan Shintoisme mempunyai otoritas yang tinggi dalam Negara matahari ini

5.2 Shintoisme dan  Ekonomi
Intisari dari kebijakan ekonomi Konfusian, yang secara rinci berarti dorong poduksi dan kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama yaitu bentuk lahir dan batin. Bentuk batim adalah pembatasan keinginan dan bentuk lahir adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Dari tinjauan singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik di atas dapatlah ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah sistem yang seimbang. Satu hal yang membedakan pandangan ekonomi politik Jepang dari pandangan Cina adalah penekanannya pada dinamisme satu arah dalam pencapaian tujuan dan pengorbanan tanpa pamrih dari setiap anggota kolektivitas untuk pencapaian tujuan bersama dari pada pencapaian harmoni ideal yang statis.
Kebijakan pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang diberikannya. Aturan-aturan gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk tidak bersenang-senang, bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga perjudian. Peraturan yang menegcam kemewahan ditempel si setiap papan pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang secara sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga bisa mencegah tindakan bermewah-mewah.
Kota-kota Jepang pada Era Edo menawarkan banyak godaan dalam hal kemewahan dan hiburan. Sulit diragukan bahwa dari kalangan kelas pedagang banyak muncul konsumen kemewahan-kemewahan itu dan penggemar rumah-rumah hiburan, tetapi ancaman bahaya dari tingkah laku semacam ini muncul di mana-mana sehingga aturan-aturan rumah pedagang hampir semua bersikap sangat keras terhadapnya. Secara umum aturan-aturan rumah pedagang menggariskan kehidupan keseharian yang hemat dan tertib, hampir-hampir asketis. “selalu bersikap hematlah dan hindari pengeluaran yang tidak bermanfaat”.
Kerja keras dan sikap ugahari nampaknya merupakan sifat yang umum terdapat di kalangan kaum tani di seluruh dunia, tetapi kadarnya menjadi sangat berlebihan di kalangan petani Jepang. Walaupun di satu segi sifat semacam ini di kalangan petani yang miskin merupakan kebutuhan, namun jelas ini bukanlah satu-satunya penjelasan untuk Jepang. Sikap hemat sangat kuat didasari oleh tanggung jawab kepada masyarakat dan keluarga. Sekte-sekte Shinto rakyat yang mempunyai ajaran etika serupa dengan Shingaku berpengaruh sangat kuat di kalangan kaum petani. Lingkup rasionalisasi politik tidaklah terlalu besar di desa. Dapat dipastikan bahwa pertanian yang lebih terdiversifikasi dan efisien berkembang pada Era Edo, sebagian karena bantuan dan dorongan dari pemerintah, dan bahwa industri rumah tangga juga  mulai berkembang dengan standar kualitas dan keseragaman yang cukuo tinggi.
5.3   Konsep Shingaku
Shingaku adalah gerakan keagamaan yang didirikan oleh Ishida Baigan dan dikembangkan lebih lanjut oleh Teshima Toan , yang terutama berpengaruh selama periode Tokugawa . Shingaku telah ditandai sebagai berasal dari Neo-Konfusianisme tradisi, mengintegrasikan prinsip-prinsip dari Zen Buddhisme . Telah berspekulasi, Shingaku adalah salah satu fondasi budaya bagi industrialisasi Jepang. Shingaku berkembang di seluruh Jepang hingga akhir rezim Tokugawa (iklan 1603-1867)
Salah satu yang paling luar biasa dari tujuan gerakan ini adalah bahwa dari Shingaku atau Ajaran Baru. Sebuah kelas moralis praktis, untuk mengimbangi kecenderungan yang berlaku zaman spekulasi dan karena Buddhisme melakukannya sedikit untuk rakyat, mencoba membuat doktrin Konfusius sebuah kekuatan yang hidup di antara masyarakat.

6.      ASAS FILOSOFIS HINDUISME
6.1 Konsep masyarakat dan keadilan
Inti dari semua aliran di Hinduisme menjelaskan bahwa segala fenomena di Alam Semesta ini bermula dari dua kekuatan primordial, yaitu Shiva (male) dan Shakti (female). Walaupun terkadang sering digambarkan dengan konsep Dewa-Dewi, namun pada pengertian yang sesungguhnya Hinduisme melihat adanya 2 kekuatan yang berkreasi, yang satu aktif dan yang lainnya pasif. Kekuatan ini merupakan manifestasi dari Brahman yang pada hakikatnya berada di luar dualisme. Dualisme baru terjadi dalam tataran Shiva dan Shakti.  
Hinduisme melihat fisik-energi-batin sebagai bagian yang saling bertautan, dan merupakan suatu manifestasi kontiniutas dari Shiva dan Shakti, yang pada hakikatnya adalah Shoonya.
         Dari sekilas mengenai penjelasan ini, sekiranya Hinduisme juga memegang konsep anatta. Tujuan akhir dari Umat Hindu sendiri juga merupakan pembebasan, namun dikenal dengan istilah moksha. Moksha sering dideskripsikan sebagai kembali bersatunya atman dengan brahman. Namun menilik pada penjelasan sebelumnya, deskripsi ini pun sebenarnya literatur yang mengandung makna personifikasi.
   Orang hindu menyebut agama mereka sebagai sanatana dharma (dharma abadi). Dharma dalam teks Hindu memiliki dua arti yaitu:
1.      Berhubungan dengan hukum dan kebiasaan Hindu dengan definisi yang jelas. Dalam arti ini dharma tidak sulit dimengerti dan konotasi yang lebih luas adalah agama.
2.      Dharma juga dapat dimengerti sebagai semua asumsi religius yang menjadi dasar semua hukum.
Hindu menekankan pada keharmonisan. Dalam Tri Hita, yang salah satunya adalah menjaga keharmonisan antar sesama manusia. Dalam mewujudkan itu, Hindu lebih menekankan pada instropeksi personal lebih ke diri sendiri dengan melaksanakan Tri Kaya Parisudha (berpikir,berkata, berbuat yang baik)  dan pengendalian Sad Ripu (enam musuh manusia:kama (hawa nafsu) lobha (kerakusan) krodha (kemarahan) moha (kebingungan) mada (mabuk) matsarya (iri hati).
Orang Hindu beranggapan bahwa agama mereka bebas dari pelbagai macam asumsi dogmatik. Mereka tidak berpikir tentang kebenaran agama dalam terminus dogmatis. Menurut mereka dogma tidak bersifat abadi tetapi hanya sebagai transit dan gambaran-gambaran kacau dari kebenaran yang melampaui mereka dan semua deinisi verbal. Sebab itu kerap merkea membenci agama dengan ajaran dogmatis yang didasarkan pada kepercayaan tertentu (creedal religion).
Dengan keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu percaya akan relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang memeluk keyakinan itu. Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan semau kita. Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa yang bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan dari suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan. Bahwa orang yang berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang tidak alamiah. Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat. Ketika bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam dewa-dewa, meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan keyakinan mereka. Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya semata-mata karena mereka tidak merasakan kekacauan dan kebingungan. Guru-guru besar dunia yang memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah tidak akan mencoba menyelamatkan dunia dalam generasi mereka dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka yang maju terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.




7.      PENGARUH HINDUISME TERHADAP NEGARA
7.1 Konsep Kekuasaan
Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Eksistensi negara dalam pamikiran Hindu menekankan fungsionalisasi dari negara itu—dalam bentuk kongkritnya adalah pemerintah--agar mampu melindungi dan mengatur ketertiban masyarakat. Ini berati Hindu mengakui pentingnya kedua entitas, negara dan masyarakat. Pemikiran Hindu tentang negara ini memiliki relevansi dengan teori-teori demokrasi yang meyakini pentingnya keberadaan negara dalam hubungannya dengan masyarakat. Tiada demokrasi tanpa negara.

Menurut penulis, pemikiran Hindu ini memberikan pandangan negara yang relatif moderat sehingga mencegah kita melompat-lompat dari perspektif ekstem “kanan” ke ekstrem “kiri”. Liberalisme-kapitalis, melulu menekankan hak-hak individu dalam perkembangannya “mempreteli” kekuasaan negara, sedangkan komunisme semata-mata memberikan kewenangan mutlak pada negara untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga cenderung menjadi otoriter seperti penah dipraktekkan negara-negara komunis. Boleh jadi kita sedang menuju suatu keadaan dimana negara memiliki suatu derajat otonomi yang relative sifatnya. Sekalipun dalam kenyataan hidup bernegara sering dijumpai penindasan oleh kelompok yang kuat terhadap yang lemah, namun negara senantiasa dituntut untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan warga negara.

8.      ASAS FILOSOFIS POLITIK  ISLAM
8.1 Sumber Ajaran politik Islam
Mengamati berbagai persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang politik Islam, dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis, dan rasional akan menunjukkan Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan, porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil. Itu pun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (kelas bawah di masyarakat), bukan pada tataran model-model politik.
Karena itu, jelas pulalah bahwa politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.
Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan.
Al-Quran sebagai sumber ajaran umat dan pertama agama islam mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan sistem politik islam. Prinsip-prinsip dasar politik islam tersebut adalah:
1.      Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
2.      Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-,masalah ijtihadiyyah
3.      Kemestian mentaati Allah dan rasulullah dan ulil Amr (pemegang kekuasaan)
4.      Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil
5.      Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat islam
6.      Kemestian mempertahankan kedaulatan negara dan larangan melakukan agresi dan invasi
7.      Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan
8.      Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan
9.      Keharusan menepati janji
10.  Keharusan mengutamakan perdamaian di antara bangsa-bangsa
11.  Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat
12.  Kemestian mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hokum
Sementara itu dalam Islam konsep politik adalah konsep yang menyeluruh, komprehensif, integral serta bukan hanya masalah kekuasaan belaka. Islam memandang politik sebagai sebuah “cara” dan bukan “tujuan”. Konsep ini didasari oleh akidah yang kokoh dengan berpegang pada manhaj yang pernah ditempuh oleh Rasul, shahabat, dan para tabi’in.
8.2 Dasar-dasar politik Islam
Konsep pertama adalah mengenai imâmah (kepemimpinan). Pengangkatan pemimpin yang amanah dan ketaatan rakyat kepada pemimpin adalah konsep politik Islam yang pokok. Para ulama mengatakan bahwa al-Nisa: 58 di atas diturunkan untuk para pemimpin pemerintahan (waliyy al-amri), agar mereka menyampaikan amanat kepada ahlinya. Ayat berikutnya,
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari golonganmu! Kemudian jika engkau berselisih dalam masalah sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika engkau benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir! Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.
Ayat ini ditujukan kepada rakyat agar taat kepada pemimpinnya dalam hal pembagian, putusan hukum, dsb. Kewajiban untuk taat kepada ulil amri itu gugur (tidak berlaku) bila mereka memerintahkan rakyatnya berbuat maksiat kepada Allah swt. Oleh karena itu, “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perbuatan maksiat kepada sang Pencipta (khâliq).”
Konsep kedua adalah syûrâ (konsultasi) atau musyawarah. Allah berfirman di dalam al-Quran,
Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya. (Ali Imran: 159).
Konsep ini menuntun bagi sebuah proses pengambilan keputusan atau kebijakan dari seorang pemimpin dl menjalankan pemerintahannya. Syûrâ—di bawah akan saya komparasikan dengan konsep demokrasi—menjadi ruh yang sangat penting bagi partisipasi ummat dalam penentuan kebijakan.
Konsep ketiga mengenai ‘adalah (keadilan). Allah berfirman di dalam al-Quran,
Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan” [al-Nahl: 90].
Keadilan dan kesetimbangan (balance) dalam menentukan kebijakan merupakan prinsip yang dikedepankan dalam politik Islam. Sistem Islam mengedepankan keadilan dalam inti ajarannya.
Beberapa orang mengira, bahwa politik adalah sebuah aib. Terlibat kekuasaan merupakan cela. Dan tidak boleh seorang ‘ulama merangkap jabatan sebagai umarâ (birokrat). Dua posisi itu seakan kutub tak tergabungkan. Bagi sebagian kalangan kaum muslimin, parlemen menjadi mimbar haram untuk berdakwah, terlebih di negara-negara yang tidak memakai Islam sebagai sistem bernegara. Banyak penguasa zalim yang memegang posisi di negara itu. Jika merujuk pada khazanah klasik, kita menjumpai ijtihad yang menarik dari para ulama. Ibnu Taimiyah—yang digelari mujtahid muthlaq oleh para ulama—berkata,
Segala puji bagi Allah. Jika ia berusaha berbuat adil dan menyingkirkan kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan kebaikan dan maslahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang lain, ia diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan dia tidak berdosa karenanya. Bahkan jabatan itu lebih baik daripada berada di tangan orang lain dan menjadi wajib jika tidak ada orang lain yang sanggup memegangnya.
Ibnu Taimiyah menyarankan agar kaum muslimin berusaha masuk dalam sistem kekuasaan. Melalui mekanisme yang disepakati, baik itu penerapan demokrasi: pemilu, parlemen, dsb. Sehingga kekuasaan ada di tangan. Dalam kondisi yang sangat mendesak, dimana tidak ada di antara kaum muslimin yang mampu duduk di pemerintahan, terdapat pandangan dari Imam Izzudin bin Abdus Salam,
Jika orang kafir menjadi pemimpin suatu wilayah yang luas, lalu mereka melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dapat mendatangkan maslahat bagi orang-orang mukmin secara umum, keadaan itu dapat dijalankan karena mendatangkan maslahat secara umum dan menyingkirkan mafsadat—sekalipun jauh dari rahmat syariat—karena memang orang yang memiliki kesempurnaan dan layak diserahi kekuasaan itu tidak ada.
9.      SISTEM NEGARA ISLAM
9.1 Kedudukan Ulil Amri (Imam/Pemimpin)
Pemerintah dalam Islam disebut juga khalifah. Yakni khalifah Allah. Artinya, pengganti Allah atau wakil Allah di bumi. Mereka bertanggung jawab terhadap rakyat untuk menjalankan kerja-kerja yang Allah perintahkan. Yakni berkhidmat kepada rakyat, memimpin, mendidik, mengajar, mengelola, mengurus, menyelesaikan masalah rakyat, membangun kemajuan negara dan masyarakat. Allah menginginkan semua hamba-hambaNya  dipimpin dan diurus dengan baik agar semuanya mendapat pelayanan dan hak-hak yang sepatutnya mereka dapat dari Allah SWT di dunia ini. Untuk itu, segala harta benda dan khazanah perbendaharaan negara diserahkan ke dalam tangan mereka. Supaya dibagikan dengan adil dan disediakan segala keperluan rakyat dan negara. Hingga negara berada dalam keadaan aman, makmur dan mendapat keampunan Allah.
Menurut umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Dua ilmu ini tidak punya hubungan dengan masalah kepemimpinan. Begitu juga bila seseorang menguasai ilmu fisika dan berhasil menyingkap seluruh potensi yang dimiliki alam atau seseorang yang menguasai musik tidak serta merta membuatnya layak memimpin. Penguasaan terhadap hal-hal demikian tidak membuatnya lebih didahulukan dalam urusan kepemimpinan dari orang yang mengetahui undang-undang Islam sekaligus adil.
Karena pemerintah adalah pengganti Allah dalam menjalankan keadilan di kalangan manusia, maka Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya agar taat pada pemerintah sesudah ketaatan pada Allah dan Rasul. Inilah firmanNya:
Wahai mereka yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan yang mempunyai kuasa di kalangan kamu (kaum muslimin). (An Nisa' 59)
Ketaatan kepada ulil amri yang adil, yang benar-benar mewakili atau mengganti Allah mengurus bumi, adalah penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam negara dapat berjalan dengan baik. Dan kehidupan hamba-hambaNya dapat diurus dengan baik. Terhadap rakyat yang memiliki watak keras kepala dan melawan perintah,  pemerintah dibenarkan menghukum mereka untuk mengkawal kebaikan dalam masyarakat. Dengan syarat kesalahan itu betul-betul kesalahan yang diiktiraf oleh syariat. Pemerintah tidak boleh membuat hukum dan undang-undang sendiri dengan tidak menghiraukan undang-undang dan hukum Allah. Jika didapati pemerintah tidak menghiraukan hukum Allah, maka akan jatuh kepada hukum baik fasiq, zalim atau kafir. FirmanNya:
"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka adalah orang fasiq." (Al Maidah: 47)
Kalau pemerintah sudah tidak taat dengan Allah, maka dalam keadaan itu rakyat tidak lagi wajib taat pada ulil amri (dalam perkara yang bertentangan dengan syariat). Rasulullah SAW bersabda:
"Tiada ketaatan kepada seorang makhluk dalam hal mendurhakai Allah. "
Karena di tangan mereka ada kekuasaan, kekuatan dan kekayaan negara, maka para ulil amri itu bebas untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan atau kejahatan. Tergantung kepada beriman atau tidaknya mereka. Pemerintah yang beriman akan berjaya menjadi penguasa yang adil seperti yang Allah perintahkan. Tapi pemerintah yang tidak beriman atau lemah imannya akan menyalahgunakan kuasa dan harta negara untuk kepentingan nafsu mereka.
Ulil amri di sini berarti pemimpin yang berstatus penguasa, bukan sekadar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok. Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu dicelahi idiom min (dari/bahagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan merujuk kepada pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi, pengadilan, dll).
Sedangkan kewajipan pemimpin tersebut untuk hanya menerapkan syariat Islam saja, tidak syariat yang lain, ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah yang berasal dari Ubadah bin ash-Shamit:
"Kami membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): ‘Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah’."
10.  TINJAUAN SEJARAH KAJIAN POLITIK ISLAM
10.1 Kajian Fiqh Siyasah dan perkembangannya
Fiqih Siyasah adalah bukan kajian yang baru di antara ilmu pengetahuan yang lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan dengan perjalan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan Negara dari serangna musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerimah dengan tangan terbuka apa yang datang dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermamfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya serta menghindarkan kehidupan dari kekakuan dan kebekuan.
Objek kajian fiqh siyasah adalah tentang hubungan antara masyarakat dan rakyatnya dalam upaya menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatn bersama. Hubungan ini meliputi masalah-masalah kebijaksanaan perundang-undangan, hubungan luar negeri dalam masa damai dan perang serta kebijaksanaan keuangan dan moneter. Dalam sejarah islam, siyasah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad setelah beliau berada di Madinah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, sebagai Rasul utusan Allah dan sebagai kepala negara Madinah. Setelah beliau wafat, fungsi kedua ini dilanjutkan oleh al Khulafa’al-Rasyidun.
1. Periode Klasik
         Ciri yang menandai perkembangan kajian fiqh siyasah pada periode klasik adalah kemapanan yang etrjadi di dunia Islam. Secara politik, Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas inetrnasional. Pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umaiyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M). pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, kajian fiqh siyasahmasih belum muncul. Bani  Umaiyah lebih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan wilayah kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, seperti Khawarij dan Syi’ah pada masa ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran-pemikiran dan gerakan meereka pun cenderung radikal dan ekstrem dalam menentang kekuasaan Bani Umaiyah. Pada masa daulat Bani Abbas barulah kajian fiqh siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung mendukung kekuasaan. Inilah yang terjadi di kalangan ulama Sunni pada umumnya.
2. Periode Pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa ini kekuatan politik islam mengalami  kemunduran. Karena itu, kecenderungan pemikiran Islam mengalami kemunduran. Tokoh yang mengalami langsung tragedi penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn Taimiyah mempunyai pemikiran siyasah yangs edikit berbeda dengan pemikir Sunni abad klasik. Berbeda dengan Sunni pemikir sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak memandang institusi imamah sebagai kewajiban Syar’I, tetapi hanya kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah oun tidak mengungkapkan secara tegas syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat untuk menjadi kepala negara, yaitu kejujuran (al-amanah) dan kewajiban atau kekuatan (al-quwwah). Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kedua syarat ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat yang merupakan cita-cita dan tujuan utama syari’at islam.
Pemikir Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun (1332-1406 M). Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanayy Muqaddimah. Di antara tesisnya yang ebrbeda dengan pemikir Sunni lainnya adalah interprestasinya yang kontekstual terhadap hadis Nabi yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap hadis ini bersifat kondisional. Karenanya, suku mana saja memegang posisi puncak pemerintahan islam, selama ia mempunyai kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat suku Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati”.
Pemikir islam lainnya yaitu Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M). syah Waliyullah membenarkan pembakangan rakyat terhadap kepala negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca al0khulafa’al-rasyidun hanyalah berbeda sedikit saja dari kerajaan Romawi dan kekaisaran Persia.
3.  Periode Modern
         Periode modern ditandai dengan oleh semakin lemahnya dunia Islam di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Hampir seluruh negeri muslim berada di bawah imperialisme dan kolonialisme Barat. Dalam lapangan politik, sikap pertama melahirkan aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik dan kenegaraan. Sikap kedua melahirkan aliran yang berpandangan bahwa Islam hanya memberikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Sedangkan sikap ketiga melahirkan aliran sekularisme yang memisahkan kehidupan politik dari agama. Pemikiran inilah yang selanjutnya berkembang hingga masa kontemporer.
Menurut pemikir tokoh-tokoh aliran pertama meereka memandang Islam sebagai sueprmarket yang menyediakan segala kebutuhan hidup manusia dan manusia tinggal hanya melaksanakan saja ketentuan-ketentuan tersebut. secara umum pemikir-pemikir kelompok pertama ini juga masih mendambakan adanya negara universal yang menyatukan seluruh dunia Islam. Selain itu mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Oleh sebab itu, segala yang datang dari barat ahrus ditolak, karena tidak sesuai dengan kepribadian Islam. Pemikir kelompok kedua yaitu Ali ‘Abd al-raziq memandang bahwa Islam tidak mempunyai tata aturan tentang politik. Nabi Muhammad SAW diuts tidak lain hanyalah untuk menjadi rasul dan tidak berpretensi utnuk membentuk negara dan kekuatan politik. Menurut Thaha Husein, supaya Mesir dan umat Islam umunya dapat meraih kemajuan, makam jalan satu-satunya adalah dengan meniru dan mengadopsi peradaban barat. Sedangkan menurut pemikir ketiga yaitu Abduh berpendapat bahwa kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh manusia. Abduh menambakan, Islam juga mengatur hukum-hukum tentang masalah-masalah hubungan antar manusia. Agar hukum tersebut berjalan secara efektif, maka diperlukan pemimpin atau kepala negara yang akan melaksanakan dan megawasi pelaksanaannya. Namun deikian, kepala negara tersebut bukanlah wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin politik. Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan seperti dalam agama Kristen.
11.  NEGARA ISLAM
11.1 Ketatanegaraan dalam sejarah Islam
Dalam praktek kenabiannya, Nabi Muhammad telah melaksanakan kedua dimensi yang diatur dalam islam yaitu dimensi hubungan antara manusia dengan Tuhan dan dimensi antara sesama manusia. Kedua dimensi itu berhasil dilaksanakan dengan baik. Dalam dakwahnya kepada masyarakat Mekah, bukan saja aspek akidah dan ibadah yang ditekankan, tetapi aspek social seperti keadilan juga ditekankan. Islam sebagai ajaran agama mengedepankan persamaan harkat dan martabat di hadapan Tuhan.
Islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad menghadapi banyak tekanan dan perlawanan antara lain dari kaum Quraisy yang mengakibatkan hujrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Di Madinah mereka diterima oleh kalangan masyarakat setempat yang dibuktikan dengan peristiwa Bai’ah al-’Aqabah pertama dan kedua. Kedua peristiwa ini merupakan titik awal berdirinya negara Madina menjadi kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani.
Negara Madina dipimpin oleh Nabi Muhammad sebagai kepala negara dan piagam Madinah sebagai konstitusinya. Pembentukan negara Madina menjadi awal dimulainya system ketatanegaraan dalam sejarah islam. Negara Madina dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena telah memenuhi syarat pendirian sebuah negara yakni wilayah, rakyat, pemerintah dan undang-undang dasar. Dalam piagam Madina telah diatur mengenai persatuan umat islam dan hubungan dengan komunitas non-Islam. Piagam Madina menggambarkan sifat kepemimpinan Nabi yang mengakomodasi kepentingan umat beragama lain dan menciptakan persatuan bersama.
Pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad, kepentingan umat beragama lain ( Yahudi ) sangat dihargai dan diberikan kebebasan beragama. Nabi menjalin hubungan yang baik dengan orang Yahudi, namun kerukunan itu dirusak oleh pemberontak kaum Yahudi sendiri yang takut akibat semakin berkembangnya pengaruh Islam. Satu demi satu suku Yahudi berkhianat tehadap piagam Madinah dan mulai menyerang serta meneror umat islam. Mereka bahkan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Nabi. Tetapi, ada juga suku yahudi yang masih setia terhadappiagam Madina dan Nabi memperlakukan mereka dengan baik.
Pigam Madinah dapat dikatan sebagai kontrak social antara Nabi dan masyarakat Madina pada saat itu. Masyarakat menempatkan Nabi sebagai pemimpin mereka oleh karena iut Nabi harus dapat melindungi dan mengayomi masyarakat. Dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan tidak hanya terpusat ditangan Nabi saja. Dalam memecahkan beberapa kasus, biasanya Nabi Muhammad berkonsultasi dengan pemuka masyarakat
Dalam menjalankan roda pemerintahan negara Madina, Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Muhammad menjalankan kekuasaan dibawah naungan Al-Quran. Untuk politik dalam negeri, Nabi Muhammad berusaha menciptakan persatuan dalam bidang Internasional, menjalin hubungan diplomatic dengan negara lain dan menempatkan serta nemerima duta ke dan dari negara sahabat.
 Dalam memimpin negara Madinah, Muhammad bukan hanya menjalankan tugas spiritual sebagai rasul tetapi memiliki kekuasaan politik sebagai kepala pemerintahan. Dilihat dari sumber kekuasaannya negara Madinah dapat dikatan sebagai negara teokrasi dalam menjalankan kekuasaannya, sitem pemerintahannya dapat dikatakan demokratis dengan mengadakan pendelegasian dan pembagian kekuasaan.


12.  TEORI NEGARA DALAM ISLAM
12.1 Pemikiran Sunni
Sunni sebutan pendek Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran (school of thought) yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower of the sunnah), yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam hadits: “Ma ana ‘alaih wa ashabi”  yang berarti jama’ah berarti mayoritas, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yaitu ‘ammah al-muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al-kathir wa al-sawad al-’azm (jumlah besar dan khalayak ramai).
 Dalam pemikiran politik Sunni, pemerintahan adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.
Pokok-pokok pemikirannya adalah seputar masalah: imam, pemimpin. Lambton, berdasarkan risetnya atas pemikiran Abu Yusuf, al-Baqillani, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali, dan Fahr al-Din al-Razi, berkesimpulan bahwa seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada seorang imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tidak ada otoritas atau kekuatan yang dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak.
Kaum sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil besar dalam menggulingkan daulah Amawiyah dan mendukung kepemimpinan Bani ‘Abbasiyah bersama golongan Khawarij, Syi’ah dan orang-orang non Arab. Sehingga mereka harus bersaing dengan kelompok Syi’ah (yang didominasi orang-orang Persia) dalam memperoleh akses kekuasaan ketika bani ‘Abbasiyah berkuasa.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, hubungan Sunni dan Mu’tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat paham Mu’tazilah dijadikan paham negara al-Ma’mun dan al-Mu’tasim. Pada saat itulah dipaksakanlah keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (Mihnah/ujian aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap menolaknya. Persilihan antara golongan ahl-al-Hadits (Sunni) dengan Mu’tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Konflik itu oleh W. Montgomery Watt disebut sebagai konflik antara kelompok Autokritik (Mu’tazilah) dengan kelompok Konstitusionalis (Sunni).
12.2 Pemikiran Syi’ah
Syi’ah lahir sebagai reaksi mayoritas kelompok sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad telah mendominasi dalam percaturan politik Islam. Mereka menganggap bahwa yang berhak memegang kekuasaan politik setelah Nabi wafat adalah Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah binti Rasulullah, dan keturunanya. Kelompok Syi’ah mengemukakan hadits untuk memperkuat adanya wasiat Nabi tentang kekhalifahan Ali, beberapa hari sebelum Nabi wafat dan kesehatan Beliau sudah mulai menurun.
Syiah terpecah dalam berpuluh-puluh kelompok. Perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor, karena perbedaan prinsip dan ajaran yang berakibat timbulnya kelompok yang ekstrem (Al-Ghulat) dan kelompok moderat; karena perbedaan pendirian tentang siapa yang menjadi imam setelah sepeninggalnya Husein bin Ali, imam ketiga, sesudah Ali Zainal bin Abidin, imam keempat, dan sesudah Ja’far Shaddiq, imam keenam. Dari kelompok-kelompok tersebut yang paling terkenal adalah Zaidiyah, Ismailiyah, Itsna Asyariyah. Ismailiyah dan Itsna Asysriyah termasuk Syi’ah Imamiyah.
Diantara kelompok syi’ah yang paling ekstrem adalah Al-Sabaiyah yang menganggap Ali adalah Tuhan. Pemimpin kelompok ini adalah Abdullah bun Saba. Ada pula kelompok yang berkeyakinan bahwa Jibril telah berbuat salah memberikan wahyu pada Muhammad, seharusnya wahyu tersebut diberikan kepada Ali, dua kelompok ini dianggap telah keluar dari Islam.
Dalam buku Ensiklopedi Islam, paham atau ajaran Syi’ah memiliki sejumlah doktrin penting yang terutama berkaitan dengan masalah Imamah, yang antara lain:
1.  Ahlulbait (Ahl al-Bayt). Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat.  Dalam sejarah Islam istilah tersebut khusus dimaksudkan kepada    keluarga atau kerabat Nabi Muhammad SAW.  Ada tiga pengertian ahlulbait;  Pertama, mencakup istri-istri Nabi dan seluruh bani Hasyim; Kedua, hany bani Hasyim; dan Ketiga, hanya terbatas pada Nabi sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan Imam-imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib.  Dalam ajaran Syi’ah bentuk yang terakhirlah yang lebih popular.
2.    Al-Bada.  Dari segi bahasa bada berarti tampak.  Doktrin al-bada adalah   keyakinan bahwa Allah SWT mampu mengubah sesuatu peraturan atau  keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru.  Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah SWT itu bukan karena Allah baru   mengetahui sebuah maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui-Nya.
3.  Asyura, yang artinya sepuluh.  Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya di tangan Yazid bin Muawiyyah pada tahun 61 H di Karbala Irak.
4.   Mahdawiyyah. Mahdawiyyah berasal dari kata Mahdi, yang berarti keyakina akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini.  Juru selamat ini    disebut Imam Mahdi.
5.   Taqiyah (dissimulation) Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau         ittaqa yang artinya takut.  Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya.  Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan   ketidak terusterangan.
6.    Marjaiyyah (sering disebut Marja Taqlid).  Berasal dari kata marja yang artinya      tempat kembalinya sesuatu, sedangkan dalam pengertian Syi’ah marja taqlid berarti sumber rujukan.  Menurut Syi’ah Imamiyah, selama keghaiban Imam Mahdi, kepemimpinan umat terletak pada pundak para fukaha, baik dalam persoalan keagamaan maupun dalam urusan kemasyarakatan. Para fuqaha-lah yang seharusnya menjadi pucuk pimpinan masyarakat termasuk dalam persoalan kenegaraan atau politik.  Doktrin marjaiyyah ini erat kaitannya  dengan konsep wilayatul faqih (pemerintahan faqih)
7.   Imamah (kepemimpinan).  Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi.  Dalam Syi’ah kepemimpinan ini mencakup persoalan keagamaan dan kemasyarakatan Imam bagi mereka   adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat.
8.  Doktrin-doktrin lain seperti, Ismah (menjaga), Rajah (pulang/ kembali), Tawassul (memohon), dan Tawali (mengangkat) atau Tabarri (menjauhkan diri).termasuk dalam doktrin-doktrin yang di anut oleh kaum Syi’ah.
12.3 Pemikiran Khawarij
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.

12.4 Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.

Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

13.  KONSEP PENTING PEMERINTAHAN ISLAM
13.1 Imamah dan Negara
Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.
            Kata imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah  tersebut, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.
Dalam mendefinisikan Negara Islam para ulama mempunyai dua pandangan yaitu:
a.       Negara Islam harus berdasarkan pada perlaksanaan hukum Islam dan sistemnya.
b.       Negara Islam diasaskan kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.
 Kalau orang Muslim mendapat keamanan sebagaimana keamanan negara Islam pada periode maka Negara itu adalah negara Islam. Berdasarkan pada pendapat yang kedua ini dalam menentukan negara Islam hanya ditentukan atas unsur mayoritas bilangan Muslim, walaupun undang-undang dan sistem Islam tidak terlaksana.

13.2 Ahl al-hall wa al-‘Aqd
Secara bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”.Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Secara bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”.
 Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd lebih dikenal dengan sebutan Ahl al-syura. Lembaga Ahl al-syura pada masa itu oleh para sahabat digunakan sebagai media untuk memilih pengganti kepala negara dan bermusyawarah untuk merumuskan arah kebijakan negara. Yang menjadi anggotanya adalah para sahabat senior yang ditunjuk oleh khalifah untuk membantunya dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan. Musyawarah yang dilakukan oleh para sahabat adalah usaha untuk menjaga tradisi yang dilakukan oleh nabi Muhammad sekaligus menjalankanperintah Al-Qur’an yang mengganjurkan kepada manusia untuk melakukan musyawarah apabila ada permasalahan publik yang membutuhkan solusi dan pemikiran cemerlang dari para Ahli.
Nabi Muhammad semasa hidupnya gemar melakukan musyawarah dengan para sahabatnya dalam menyelesaikan permasalahan umat baik itu permasalahan ekonomi, politik dan strategi perang. Musyawarah merupakan media untuk mengambil kebijakan untuk menghindari prilaku yang otoriter dan sewenang-wenang. Dengan musyawarah masyarakat akan puas terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah

13.3 Wizarah
Kata “wizarah” terambil dari kata al-wazr yang berarti al-tsuql atau berat. Dikatakan demikian, karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan yang berat. Kepadanyalah dilimpahkan sebagian kebijakasanaan-kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannya. Dalam bahasa Arab dan Persia modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan menteri yang mengepalai departemen dalam pemerintahan. Dalam firt encyclopedia of islam, kata wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Menurut Kitab Zend Avesta, kata ini berasal dari “ziciria”, yang berarti orang yang memutuskan, hakim. Sengan pengertian ini, maka wazir adalah nama suatu kementerian dalam sebuah negara atau suatu kebijaksanaan publik demi kepentingan rakyat, negara atau kerajaan yang bersangkutan .
Sementara al-Mawardi lebih merinci lagi tiga pendapat tentang asal-usul kata wizarah ini.
Pertama , wizarah berasal dari kata al-Wizar, yang berarti al-tsuql (beban), karena wazir memikul tugas yang dibebankan oleh kepala negara kepadanya, seperti pengertian diatas.  Kedua, wizarah terambil dari kata al-Wazar, yang berarti al-malja’( tempat kembali ).
Ketiga, wizarah juga berasal dari al-azr yang berarti al-zhuhr (punggung). Ini sesuai dengan fungsi dan tugas wazir yang menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan kekuasaan kepala negara, sebagaimana halnya badan menjadi kuat tegak berdiri karena ditopang oleh pungung.
Dari pengertian – pengertian ini dapat ditarik pemahaman bahwa wazir merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab, pada dasarnya, kepala negara sendiri tidak mampu menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa bantuan orang –orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karenanya, kepala negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian persoalan-persoalan kenegaraan yang berat tersebut dapat dilimpahkan ketangan kanan kepala negara dalam mengurus pemerintahan.
14.  KELEMBAGAAN POLITIK ISLAM
14.1 Siyasah Dutsuriyah
         Kata siyasah berasal dari kata sasa berarti mengatur, mengurus dan memerintah atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian secara kebahasaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu. Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan bahwa siyasah adalah pengaturan perundang-undangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan. Sedang kata “dusturi” berasal dari bahasa persia. Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama.
Dengan demikian, Siyasah Dusturiyah adalah bagian Fiqh Siyasah yang membahas masalah perundang-undangan Negara agar sejalan dengan nilai-nilai syari’at. Artinya, undang-undang itu mengacu terhadap konstitusinya yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum syari’at yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan yang dijelaskan sunnah Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah maupun berbagai macam hubungan yang lain. Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan undang-undang dasar adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama.
 Sehingga tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang merupakan prinsip Fiqh Siyasah akan tercapai. Atas hal-hal di ataslah siyasah dusturiyah dikatakan sebagai bagian dari Fiqh Siyasah yang membahas masalah perundang-undangan Negara. Yang lebih spesifik lingkup pembahasannya mengenai prinsip dasar yang berkaitan dengan bentuk pemerintahan, aturan yang berkaitan dengan hak-hak rakyat dan mengenai pembagian kekuasaan. Secara keseluruhan persoalan di atas tidak dapat dilepaskan dari dua hal pokok: pertama, dalil dalil kully, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits, maqosid al-Syariah; dan semangat ajaran Islam di dalam mengatur masyarakat Kedua, aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi, temasuk di dalamnya hasil ijtihad para ulama, meskipun tidak seluruhnya. Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini.
Menurut Muhammad Asad, al-Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan berimbang di dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. Ini berarti penerapan nilai-nilai universal al-Qur’an dan hadist adalah faktor penentu keselamatan umat manusia di bumi sampai di akhirat, seperti peraturan yang pernah diperaktekkan Rasulullah SAW dalam negara Islam pertama yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
 Isi penting dari prinsip Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur sebuah umat dan menegakkan pemerintahan atas dasar persamaan hak. Piagam Madinah ini juga merupakan suatu konstitusi yang telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah dalam sebuah pemerintahan dibawah kepemimpinan nabi Muhammad. Piagam Madinah dianggap oleh para pakar politik sebagai Undang- Undang Dasar pertama dalam negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad
14.2 Siyasah Dauliyah dan Siayasah Maliyah
Yaitu siyasah yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antara Negara-negara Islam dan Negara-negara bukan Islam, tata cara peraturan pergaulan warga Negara Muslim dengan bukan Negara non Muslim yang ada di Negara Islam, hukum dan atauran yan membatasi hubungn Negara Islam dengan Negara lain dalam situasi damai dan perang. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubungan antar Negara yang satu dengan Negara yang lain dan lembaga antar Negara tersebut (Politik hubungan Internasional). Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1.  Kesatuan umat manusia
Meskipum manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini.
2.  Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An-Nisa : 135)
3. Al-Musawah (persamaan)
 Manusia memiliki hal-hal kemanusian yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hokum kerjasama internasional sulit dilaksanakan apabila tidak di dalam kesederajatan antar Negara dan antar Bangsa. 
4. Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia ini berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa di kembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5. Tasamuh (Toleransi)
Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah kepada kejahatan atau memberi peluang kepada kejahatan. Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
Pengertian Fiqih Siyasah Maliyah Adalah bidang fiqih siyasah yang mengorientasikan pengaturannya untuk kemaslahatan rakyat. Maka di dalam siyasah maliyah ada hubungan diantara tiga factor, yaitu: rakyat, harta dan pemerintah atau kekuasaan. Di kalangan rakyat ada dua kelompok besar dalam suatu atau beberapa Negara yang harus bekerja sama dan saling membantu antara orang-orang kaya dan orang-oarang miskin. Yang dibicarakan di dalam siyasah Maliyah adalah bagaimana cara-cara kebijakan yang harus di ambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok ini, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin melebar. Didalam fiqih siyasah orang kaya di sentuh hatinya untuk mampu bersikap dermawan, dan orang-orang miskin di harapkan selalu sabar (ulet), berusaha, dan berdo’a mengharapkan karunia Allah.



Dasar-Dasar Fiqih Siyasah Maliyah, di antaranya sebagai berikut:
a. Beberapa prinsip tentang harta, antara lain:
1. Masyarakat tidak boleh menggangu dan melarang pemilikan mamfaat selama tidak merugikan orang lain atau masyarakat itu sendiri.
2. Karena pemilikan mamfaat berhubungan dengan hartanya, maka boleh bagi pemilik memindahkan hak miliknya kepada pihak lain, misalnya dengan jalan menjualnya, mewasiatkannya, menghibahkannya, dan sebagainya.
3. Pada pokoknya pemilikan mamfaat itu kekal tidak terikat oleh waktu.
b. Dasar-dasar keadilan sosial
Diantara landasan yang menjadi landasan keadilan social di dalam islam:
1.      Kebebasan rohania yang mutlak.
Yakni kebebasan rohania yang di dasarkan kepada kebebasan rohania manusia dari tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak ada yang kuasa kecuali daripada Allah.
2.      Persamaan kemanusian yang sempurna.
Yakni prinsip-prinsip persamaan di dalam Islam yang di dasarkan kepada kesatuan jenis manusia di dalam kejadiannya dan di dalam tempat kembalinya, di dalam kehidupannya, di dalam matinya, di dalam hak dan kewajibannya di hadapan undang-undang, di hadapn allah, di dunia dan di akhirat.
c. Tanggung jawab social yang kokoh
Di antaranya meliputi:
1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri.
2. Tanggung jawab terhadap keluarganya.
3. Tanggung jawab individu terhadap masyarakat dan sebaliknya.
d. Hak milik
       Islam telah menetapkan adanya hak milik perseorangan terhadap harta yang di hasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum syara’. Hanya Islam memberikan batasan batasan tentang hak milik perseorangan ini agar manusia mendapat kemaslahatan dalam pengembangan harta dalam menafkahkan dan dalam perputaranya.
1. Bahwa hakikatnya harta itu adalah milik Allah.
2. Harta kekayaan jangan sampai hanya ada/dimiliki oleh segolongan kecil masyarakat.
3. Ada barang-barang yang untuk kepentingan masyarakat seluruhnya, seperti jalan-jalan, irigasi, tempat-tempat peribadatan.
e. Zakat
Beberapa bentuk zakat, di antaranya:
1. Zakat hasil bumi (Usyur)
2. Zakat emas, ternak, dan zakat fitrah.
3. Kanz dan harta karun

f. Jizyah
Adalah iuran Negara (Dharibah) yang diwajibkan atas orang-orang ahli kitab sebagai imbangan bagi usaha membela mereka dan melindungi mereka atau sebagai imbangan bahwa mereka memperoleh apa yang di peroleh orang-orang Islam sendiri, baik dalam kemerdekaan diri, pemeliharan harta, kehormatan. Dan agama.

       Sedangkan  Bidang Fiqih Siyasah Harbiyah adalah siyasah yang mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya . Seperti perdamaian. Perang bisa saja timbul sekali-kali, akan tetapi yang diharapkan adalah menghindari atau mengurangi terjadinya perang. Kalau mungkin menghilangkannya. Sekalipun perang sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik, tetapi terpaksa harus dilaksanakan dalam kondisi-kondisi di dalam dan di luar negeri tertentu.
Konsekuensi dari asas bahwa hubungan Internasional dalam Islam adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan, maka:
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sesuai dengan persyaratan darurat hanya di lakukan seperlunya.
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
3. Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepda damaian
4. Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
BAB III
PENUTUP
1.      Kesmpulan
Pemikiran Politik Timur merupakan gagasan atau ide-ide mengenai politik ( kekuasaan , aktivitas, struktur, system dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara ) yang berkembang dalam masyarakat timur berdasarkan pada nilai-nilai moralitas dan keyakinan-keyakinan yang ada pada masyarakat timur.
Pada dasarnya semua ajaran dalam permikiran politik timur mengacu pada kebaikan dimana berlandaskan pada moralitas dan kepercayaan masyarakat. Seperti adanya ajaran Confucius yang mana pemikirannya sering dianggap doktrin agama oleh para pengikutnya. Confucius lebih menitik beratkan pada moral.  Kecerdasan tanpa moral yang baik tidak berguna.  Kekuasaan harus diserahkan kepada orang-orang yang memiliki moral yang baik.  Untuk menumbuhkan moral yang baik perlu dikembangkan emosi seperti kasih sayang kepada sesama.
Untuk mencapai moal yang baik  setiap manusia harus melalui pendidikan dan pelatihan yang sungguh-sungguh.  Moral sangat erat kaitannya dengan emosi seperti kasih sayang.   Selain itu terdapat ajaran  Hinduisme, Buddhisme, Sintoisme dan Islam. Meskipun berasal dari pandangan yang berbeda-beda namun ajaran tersebut tetap bertujuan untuk kebaikan manusia.

2.      Saran
Pemikiran politik timur merupakan cara pandang yang digunakan masyarakat timur dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari dan kehidupan pemerintahan. Oleh sebab itu sangat diharapkan untuk dipelajari oleh semua kalangan terutama mahasiswa selain menambah wawasan dan agar dapat mengimplemetasikannya agar kehidupan politik timur khususnya pada negara Indonesia dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang di inginkan masyarakat.







DAFTAR PUSTAKA

Margins, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : Penerbit Kansus
Heart, Michael. 2009. 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Jakarta. Penerbit Hikmah
http://ahmadnaufa.wordpress.com/2010/04/18/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij-dan-mu%E2%80%99tazilah/


[1] 100 orang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah, Michael H. Hart
[2] Menalar Tuhan, Franz Margins-Suseno. hal.32

Tidak ada komentar: